Senin, 20 September 2010

Pertemuan Sunan Bonang dengan Raja Jin (1)

More About : sunan bonang
Pada waktu itu sunan Bonang akan pergi ke Kediri, diantar dua sahabatnya.
Di utara Kediri, yakni di daerah Kertosono, Sunan Bonang dan dua sahabatnya menyeberang.
Tiba di timur sungai, Sunan Bonang menyelidiki agama penduduk setempat.
Sudah Islam atau masih beragama Budha.

Ternyata, kata Ki Bandar, masyarakat daerah itu beragama Kalang, memuliakan
Bandung Bondowoso.
Menganggap Bandung Bondowoso sebagai nabi mereka.
Hari Jumat Wage wuku wuye, adalah hari raya mereka.
Setiap hari itu, mereka bersama-sama makan enak dan bergembira ria.

Kata Sunan Bonang,
" Kalau begitu, orang disini semua beragama Gedhah.
Artinya, tidak hitam, putih pun tidak.
Untuk itu tempat ini kusebut Kota Gedhah."

Sejak itu, daerah di sebelah utara Kediri ini bernama Kota Gedhah.

Perawan Tua
Hari terik.
Waktu sholat dhuhur tiba.

Sunan Bonang ingin mengambil air wudlu.
Namun karena sungai banjir dan airnya keruh, maka Sunan Bonang meminta salah
satu sahabatnya untuk mencari air simpanan penduduk.
Salah satu sahabatnya pergi ke desa untuk mencari air yang dimaksud.

Sesampai di desa Patuk ada sebuah rumah.
Tak terlihat laki-laki di sini.
Hanya ada seorang gadis berajak dewasa sedang menenun.

" Hai Gadis, aku minta air simpanan yang jernih dan bersih,"
kata sahabat itu.

Perawan itu terkejut.
Ia menoleh.
Dilihatnya seorang laki-laki.
Ia salah paham.
Menyangka lelaki itu bermaksud menggodanya.

Ia menjawab kasar :
" Kamu baru saja lewat sungai.
Mengapa minta air simpanan.
Di sini tidak ada orang yang menyimpan air kecuali air seniku ini sebagai
simpanan yang jernih bila kamu mau meminumnya."

Mendengar kata-kata kasar itu, sahabat itu langsung pergi tampa pamit.
Mempercepat langkah sambil mengeluh sepanjang perjalanan.
Tiba di hadapan Sunan Bonang, peristiwa tak menyenangkan itu disampaikan.

Mendengar penuturan itu Sunan Bonang naik pitam.
Keluarlah kata-kata keras.
Sunan menyabda tempat itu akan sulit air.

Gadis-gadisnya tidak akan mendapat jodoh sebelum usianya tua.
Begitu juga dengan kaum jejakanya.
Tidak akan kawin sebelum menjadi jejaka tua.

Terkena ucapan Sunan Bonang, aliran sungai Brantas menyusut.
Aliran sungai berbelok arah.
Membanjiri desa-desa, hutan, sawah, dan kebun.

Prahara datang diterjang arus sungai yang menyimpang.
Dan setelah itu kering seketika.
Sampai kini daerah Gedhah sulit air.

Perempuan-perempuannya menjadi perawan tua.
Begitu juga kaum laki-lakinya.
Mereka terlambat berumah tangga.

Demit
Kemudian, Sunan Bonang melanjutkan perjalanannya ke Kediri.
Di daerah ini ada demit (mahluk halus) bernama Nyai Plencing.
Menempati sumur Tanjungtani yang sedang dikerumuni anak cucunya.

Mereka lapor, bahwa ada orang bernama Sunan Bonang suka mengganggu kaum
mahluk halus dan menonjolkan kesaktian.
Anak cucu Nyai Plencing mengajak Nyai Plencing membalas Sunan Bonang.
Caranya dengan meneluh dan menyiksanya sampai mati agar tidak suka
mengganggu lagi.

Mendengar usul itu Nyai Plencing langsung menyiapkan pasukan, dan berangkat
menemui Sunan Bonang.
Tetapi anehnya, para setan itu tidak bisa mendekati Sunan Bonang.
Badannya terasa panas seperti dibakar.

Raja mereka bernama Buta Locaya, tinggal di Selabale, di kaki Gunung Wilis.
Buto Locaya semula adalah patih raja Sri Jayabaya, bernama Kyai Daha.
Ia dikenal sebagai cikal bakal Kediri.
Ketika Raja Jayabaya memerintah daerah ini, namanya diminta untuk nama
negara.

Ia diberi nama Buta Locaya dan diangkat patih Prabu Jayabaya.
Buta sendiri artinya bodoh.
Lo bermakna kamu.
Dan Caya dapat dipercaya.
Bila disambung, maka Buta Locaya mempunyai makna orang bodoh yang dapat
dipercaya.

Sang Prabu dijamu Kyai Daka.
Sang Prabu suka dengan keramahan itu.
Nama Kyai Daka pun diminta untuk desa yang kemudian berganti Tunggulwulung.
Seterusnya ia diangkat menjadi panglima perang.

Ketika Prabu Jayabaya muksa ( mati bersama raganya hilang ) bersama Ni Mas
Ratu Pagedongan, Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung juga iktu muksa.
Ni Mas kemudian menjadi ratu setan di Jawa.
Tinggal di laut Selatan dan bergelar Ni Mas Ratu Angin-Angin.

Semua mahluk halus yang ada di laut selatan tunduk dan berbakti kepada Ni
Mas Ratu Angin-Angin.
Buta Locaya menempati Selabale.
Sedangkan Kyai Tunggulwulung tinggal di Gunung Kelud menjaga kawah dan lahar
agar tidak merusak desa sekitar.

Ketika Nyai Plencing datang, Buta Locaya sedang duduk di kursi emas beralas
kasur babut dihias bulu merak.
Ia sedang ditemani patihnya, Megamendung dan anaknya, Paji Sektidiguna dan
Panji Sarilaut.
Ia amat terkejut melihat Nyai Plencing yang datang sambil menangis.

Ia melaporkan kerusakan-kerusakan di daerah utara Kediri yang disebabkan
ulah orang dari Tuban bernama Sunan Bonang.
Nyai Plencing juga memaparkan kesedihan para setan dan penduduk daerah itu.
Mendengar laporan Nyai Plencing Buta Locaya murga.

Mengikuti arus angin, mereka pun sampai di desa Kukum.
Di tempat ini Buta Locaya menjelma menjadi manusia, berganti nama Kyai
Sumbre.
Sementara setan dan jin yang beribu-ribu jumlahnya tidak menampakkan diri.

1 komentar:

  1. Mantap agan..
    main ke blog ane
    http://fasyniyah.blogspot.com/

    BalasHapus