Rabu, 25 Agustus 2010

sayidil mursalin

siapapun yang memandang,, wajah tuan yang rupawan ..
pastilah menjadi senang,, hilang segala kebimbang ..

dariku tolong sampaikan,, surat tanda kecintaan ..
dan segala penghormatan,, yang agung pada junjungan ..

tak pernah kami melihat,, girangnya onta berangkat ..
berjalan melangkah cepat,, hanya kemadinah tempat ..

hambamu yang amat miskin,, penuh dosa dohir batin ..
mengharap syafaat yakin,, darimu oh sayidil mursalin ..


Rukun Iman

  1. Iman kepada Allah Swt
  2. Iman kepada Malaikat Allah Swt
  3. Iman kepada Kitab Allah Swt
  4. Iman kepada Rasul Allah Swt
  5. Iman kepada Hari Kiamat
  6. Iman kepada Qadha dan Qadhar

Tahrif Al Qur’an Dalam Riwayat-riwayat Ahlusunnah (2)

Dalam artikel ini kami akan menyajikan kepada pembaca beberapa riwayat adanya perubahan pada Al Qur’an yang terdapat dalam kitab Shahih karangan Imam Bukhari. Dan dalam kesempatan lain, insyaallah, dengan seizin Allah, kami akan menyebut riwayat-riwayat tahrîf Al Qur’an dalam kitab-kitab lain.
(1)         Surah Wal laili Idzâ Yaghsyâ.[92]
Dalam Al Qur’an umat Islam yang turun kepada Nabi Muhammad, ayat itu berbunyi demikian:
وَ ما خَلَقَ الذَّكَرَ وَ الْأُنْثى‏ (3)
Dan  penciptaan laki- laki dan perempuan,(3(
Akan tetapi dalam Al Qur’an versi Imam Bukhari ayat itu berbunyi demikian:
وَ الذَكَرِ و الأُنْثَى.
Dan demi laki-lak dan perempuan.
Pada ayat versi Imam Bukhari mengalami pengurangan kalimat: وَ ما خَلَقَ dan kemudian harakat kata الذَّكَر dibaca karsah bukan fathah, seperti dalam Al Qur’an yang ada.
Dalam riwayat itu disebutkan bahwa sahabat Abu Darda’ menyatakan bahwa demikianlah sebenarnya ayat itu turun kepada Nabi dan yang beliau ajarkan. Jusrtu bunyi ayat seperti yang tertera dalam Al Qur’an sekarang itu dikatakan oleh riwayat Imam Bukhari sebagai hasil paksaan dan rekayasa para penguasa.
Untuk melihat langsung hadis tersebut baca Shahih Bukhari, Kitab at tafsir, tafsir wal laili idâ Yaghsyâ: 6/210.

(2)   Surah Tabbat Yadâ
Dalam Al Qur’an umat Islam yang turun kepada Nabi Muhammad ayat itu berbunyi demikian:
تَبَّتْ يَدا أَبي‏ لَهَبٍ وَ تَبَّ (1)
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.”(1)
Sementara dalam Al Qur’an versi riwayat Imam Bukhari ayat tersebut berbunyi demikian:
تَبَّتْ يَدا أَبي‏ لَهَبٍ وَقَدْ تَبَّ
Jika pada kasus pertama terjadi pengguguran beberapa kata, di sini justru mengalami penambahan sebuah hurufقد yang berfungsi sebagai huruf tahqiq/penguat dalam istilah kaidah bahasa Arab.
Ayat Al Qur’an versi Imam Bukhari ini dapat dijumpai dalam Shahih Bukhari, kitab at tafsir, tafsir Tabat Yadâ Abi Lahabin wa Tabb: 6/221.

(3)   Surah asy Syu’arâ’ [26] Ayat 214.
Bunyi ayat tersebut dalam Al Qur’an yang ada di kalangan umat Islam demikian:
وَ أَنْذِرْ عَشيرَتَكَ الْأَقْرَبينَ
Dan berilah peringatan kepada kerabat- kerabatmu yang terdekat,(214 (
Sementara redaksi ayat itu sesuai versi Imam Bukahri adalah sebagai berikut:
وَ أَنْذِرْ عَشيرَتَكَ الْأَقْرَبينَ، وَ رَهْطَكَ الْمُخْلَصِيْنَ.
Dan berilah peringatan kepada kerabat- kerabatmu yang terdekat dan kabilahmu yang terpilih.”
Hadis yang memuat ayat tersebut adalah dari riwayat sahabat Ibnu Abbas, beliau mengatakan, “Ketika turun ayat:
وَ أَنْذِرْ عَشيرَتَكَ الْأَقْرَبينَ، وَ رَهْطَكَ الْمُخْلَصِيْنَ.
Rasulullah keluar sehingga menaiki bukit gunung Shafâ, lalu beliau menjerit wâ shabâhâh (sebagai tanda panggilan untuk berkumul) … .”
Jadi demikianlah sebenarnya ayat tersebut turun kepada Nabi, bukan seperti yang beredar dalam Al Qur’an yang dibaca umat Islam. Dalam Al Qur’an yang beradar di kalangan kita ayat tersebut mengalami pengurangan satu bagian yaitu kalimat: وَ رَهْطَكَ الْمُخْلَصِيْنَ..
Ayat Al Qur’an versi Imam Bukhari ini dapat dijumpai dalam Shahih Bukhari, Kitab at Tafsir, tafsir Tabbat Yadâ Abi Lahabin wa Tabb, 6/221.


(4)         Surah al Kahfi ayat 79.
Bunyi ayat tersebut dalam Al Qur’an demikian:
أمَّا السَفِيْنَةُ فكانَتْ لِمَساكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ في البَحْرِ …. و كانَ وَراءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كَلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا.
 “Adapun behtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap behtera.”
Sementara itu dalam Al Qur’an versi Imam Bukhari terjadi perubahan kata warâhu dengan kata amâmahum, seperti di bawah ini:
أمَّا السَفِيْنَةُ فكانَتْ لِمَساكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ في البَحْرِ …. و كانَ أَمامَهُُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كَلَّ سَفِيْنَةٍ صالِحَةٍ غَصْبًا.
Kata وَراءَهُم diganti dengan kata أَمامَهُُمْ sementara kata سَفِيْنَةٍ disifati dengan kata صالِحَةٍ.
Ayat Al Qur’an versi Imam Bukhari itu dapat Anda baca dalam Shahih Bukhari, Kitab at Tafsir, tafsir Surah al Kahfi,6/112.
(5)         Surah al Kahfi ayat 80
Ayat ke 80 surah al Kahfi juga dalam Al Qur’an versi Bukhari berbeda dengan Al Quran yang beredar di kalangan umat Islam.
Dalam Al Qur’an yang beredar ayat tersebut berbunyi demikian:
وَ أََمَّا الغُلاَمُ فَكانَ أَبَواهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِيْنَا أَنْ يُرْهِقَهُما تُغْيانًا و كُفْرًأ
 “Dan adapun anak muda itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada keseatan dan kekafirann.”
Sementara dalam Al Qur’an versi Bukhari berbunyi demikian:
وَ أََمَّا الغُلاَمُ فَكانَ كافِرًا وكان أَبَواهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِيْنَا أَنْ يُرْهِقَهُما تُغْيانًا و كُفْرًأ
“Dan adapun anak muda itu, maka [ia  adalah kafir dan] kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada keseatan dan kekafirann.”




(6)                                          Ayat Yang Beredar adalah Salah!
Dalam pandangan Khalifah Umar, bahwa ayat 9 surah al Jumu’ah adalah salah. Ia adalah redaksi yang telah diralat Allah! Sementara redaksi yang benar adalah seperti yang dibaca Khalifah Umar!
Bagaimana redaksi yang benar  ayat tersebut?
Para ulama meriwayatkan banyak riwayat yang mengatakan bahwa Khalifah Umar tidak membaca ayat 9 surah al Jumu’ah keuali dengan redaksi:
فَاسْعَوْا إلى ذكْرِ اللهِ
Sementara bunyi ayat tersebut dalam Al Qur’aan yang beredar adalah demikian:
فَامْضُوا إلى ذكر اللهِ
Para ulama, di antaranya Abu Ubaid dalam Fadhâil-nya, Sa’id bin Manshûr, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Mundzir, dan Ibnu al Anbâri dalam al Mashâhif-nya meriwayatkan dari Kharsyah bin al Hurr, ia berkata, “Umar melihat padaku sebuah lembaran bertuliskan ayat:
فَاسْعَوْا إلى ذكْرِ اللهِ
Lalu ia bertanya, ‘Siapakah yang mendektekan ayat kepadamu?’
Aku berkata, ‘Ubay bin Ka’ab.’
Ia berkata lagi, ‘Ubay adalaah orang yang paling banyaak tau tentang ayat-ayat yang btelah diralat. Bacalah dengan redaksi:
فَامْضُوا إلى ذكر اللهِ
Jadi apa yang sekarang tertera dalam Al Qur’an yang beredar adalah redaksi yang salah dalam pandangan Khalifah Umar!
Abdu bin Humaid juga meriwayatkan dari Ibrahim, ia berkata, “Dikatakan kepada Umar bahwa Ubay membaca tersebut dengan:
فَاسْعَوْا إلى ذكْرِ اللهِ
Maka Umar, ‘Ubay paling banyak tau tentang yang mansûkh/ telah diralat/dihapus.
Dan Umar membaca:
فَامْضُوا إلى ذكر اللهِ
Imam Syafi’i, dalam al Umm-nya, Abdurrazzâq, al Faryâbi, Sa’id bin Manshûr, Ibnu Abi Syaibah, Abdu bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Abu Hâtim, Ibnu al Anbâri dalam al Mashâhif-nya dan al Baihaqi dalam Sunan-nya telah meriwayatkan dari Abdullah putra Umar, ia berkata, “Aku tidak pernah mendengar Umar membaca ayat itu melainkan dengan redaksi:
فَامْضُوا إلى ذكر اللهِ
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Ibnu Umar berkata, “Umar wafat sementara ia tidak pernah membaca ayat itu kecuali dengan redaksi:
فَامْضُوا إلى ذكر اللهِ

Ibnu Mas’ud pun mendukung Bacaan Khalifah Umar
Para ulama seperti Abdurrazzâq, al Faryâbi, Abu Ubaid, Sa’id bin Manshûr, Ibnu Abi Syaibah, Abdu bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Abu Hâtim, Ibnu al Anbâri dalam al Mashâhif-nya dan ath Thabarâni telah meriwayatkan dari banyak jalur dari Ibnu Mas’ud bahwa ia membaca ayat tersebut seperti bacaan Umar. Dan ia menyalahkan redaksi yang ada sekarang.
Abdullah bin Zubair telah mengikuti Umar dalam membaca ayat tersebut.[1]
Dalam kitab Tamhîd-nya, Ibnu Abdil Barr menerangkan demikian, “Adapun ayat dengan redaksi (فَامْضُوا) ia telah dipilih sebagai bacaan oleh Umar in al Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud,Ubay bin Ka’ab, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Abu al Âliyah, Abu Abdirrahman as Sulami, Masrûq, Thâwûs, Sâlim bin Abdillah dan Thalhah bin Mashraf.”[2]
Dari uraian Ibnu Abdil Barr di atas dapat dimengerti bahwa ayat dengan redaksi yang dipilih Umar  adalah telah diakui kebenarannya oleh sekelompok sahabat besar dan tabi’în. Maka dengan demikian tidakkah terlalu salah jika ada yang mengikuti mereka dalam bacaan tersebut!
Bahkan mungkin bacaan itu yang seharusnya ditetpkan dalam Al Qur’an kita sekarang, mengingat, dalam pandangan Umar bahwa yang sekarang tercantum itu adalah telah dimansukhkan tilâwahnya. Dan dalam pandangan para ulama Islam, teks Al Qur’an telah dimansukhkan tilâwahnya tidak lagi boleh disebut dan diyakini sebagai Al Qur’an. Al Qurthubi menegaskan, “Ayat yang telah dimansukhkan lafadz/tilâwah dan hukumnya, atau lafadz/tilâwahnya saja tanpa hukumnya tidak lagi sebagai Al Qur’an, seperti akan diterangkan nanti.”[3] 
Karena kemasyhuran dan kebenaran bacaan Khalifah Umar ini tidak perlu lagi dipertaanyakan apalagi diragukan, maka Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya[4] menyebutkannya tanpa harus perlu menyebut sanad/jalur meriwayatannya. Beliau berkata, “Umar membaca: فَامْضُوا .

Ibnu Hajar membenarkan Adanya Perubahan Itu!
Dalam Fathu al Bâri-nya[5], ketika menerangkan, bab as Sa’yu Ila al Jumu’ah, berangkat menuju shalat Jum’at, pada Kitabul Jumu’ah, Ibnu Hajar mengatakan, “Umar membacanya: فَامْضُوا.”
Dan ia berjanji akan membicarakaan tentang bacaan Umar pada Kitab at Tafsir. Kemudian ia menepati janjinya dengan membicarakannya. Ia berkata, “Kata-kata Bukahri, ‘Umar membaca: فَامْضُوا‘ ini telah tatap dalam riwayat al Kasymîhani seoraang. Ath Thabari dari Abdul hamîd bin Bayân dari Sufyan dari Zuhri dari Sâlim bin Abdillah dari ayahnya (Abdullah bin Umar), ia berkata, ‘Aku tidak mendengar Umar melainkan membaca dengan radaksi: فَامْضُوا.
Dan dari jalur Mughîrah dari Ibrahim, ia berkata, “Dikatakan kepada Umar bahwa Ubay membaca tersebut dengan:
فَاسْعَوْا إلى ذكْرِ اللهِ
Maka Umar, ‘Ubay paling banyak tau tentang yang mansûkh/yang telah diralat/dihapus.
Sesungguhnya yang benar adalah: فَامْضُوا.
Hadis ini juga diriwayatkan Sa’id bin Manshûr dan iaa menerangkan perntara penukilan hadis itu antara Ibrahim dan Umar yaitu Kharsyah bin al Hurr. Maka dengaan demikian shahihlah sanad ini.”

Ringkas Kata:
Dari paparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa hanya ada dua opsi, pertama, bacaan yang benar adalah apa yang dinyatakan Umar dan para sahabat lainnya, atau kedua, Umar dan teman-temannya salah dan yang benar adalah apa yang sekarang tertera dalam Al  Qur’an kita.
Manapun opsi yang kita pilih itu artinya bahwa Al Qur’an kita telah mengalami perubahan.
Jika yang Umar yang benar, maka konsekuensi darinya adalah bahwa kita kaum Muslimin sekarang ini sebenarnya sedang membaca teks ayat Al Qur’an yang salah. Ia bukan Al Qur’an sebab telah dimansûkh lafadznya kendati dahulu pernah berstatus sebagai Al Qur’an.
Jika yang benar adalah apa yang tercantum dalam Al Qur’an kaum Muslimin, dan Umar serta para sahabat lainnya salah maka kita harus mengakui bahwa mereka telah melakukan perubahan Al Qur’an dengan mengganti redaksi wahyu kudus yang Allah wahyukan kepada nabi-Nya.
Dalam pandangan mereka Al Qur’an yang ada telah mengalami perubahan redaksi, sementara itu dalam pandangan mereka yang mendukung apa yang ada dalam Al Qur’an yang sakarang justru merekalah yang melakukan peerubahan! 
Sebagai seorang awam pantaslah bila ia kebingungan menentukan teks mana yang sebenarnya harus ditetapkan dalam Al Qur’an sekarang? Teks Umar dan para sahabat lainnya atau teks Ubay bin Ka’ab?
Selin itu, mungkin akan muncul anggapan bahwa Imam Bukhari sebenarnya meyakini adanya perubahan pada Al Qur’an, karenanya ia memasukkannya dalam koleksi kitab Shahih-nya yang ia yakini keshahihan seluruh hadis dan riwayat yang dinukilnya. Dan sepertinya anggapan itu tidak dapat begitu saja diabaikan.



[1] Ad Durr al Mantsûr,6/219.
[2] At Tamhîd,8/298.
[3] Tafsir Al Qurthubi,1/86.
[4] Shahih Bukhari, Kitab at Tafsir, pada tafsir surah al Jumu’ah.
[5] Fathu al Bâri,5/48.